Selasa, 22 Februari 2011

iklim/cuaca tak menentu, (la nina 2011 )


Pada 2010 kemarin kondisi cuaca di musim kemarau (Juni, Juli dan Agustus) tetap menunjukkan tingkat curah hujan di atas normal, hal ini membuat Kepala Divisi Perubahan Iklim BMKG menyebutnya sebagai periode "Kemarau Basah". Kondisi cuaca seperti ini memberi pengaruh buruk yang signifkan pada sektor pertanian, kegagalan panen terjadi mulai dari tebu, tembakau sampai di awal 2011 ini terjadi pada komoditi cabai. Dampak buruk ini telah dirasakan di berbagai daerah, yaitu dengan meningkatnya harga komoditi tani.

BMKG sebagai badan yang bertanggung jawab memantau, menganalisa dan menginformasikan kondisi iklim/ cuaca ke masyarakat telah mengeluarkan informasi tentang kemungkinan terjadinya kemarau basah sejak awal 2010, informasi ini terus diperbaharui (terakhir 3 Januari 2011). Kejadian La Nina diidentifikasi sebagai pendorong utama di samping faktor-faktor lainnya. Dalam dokumentasinya BMKG juga melampirkan hasil prediksi kondisi La Nina 2-3 bulan ke depan yang disandingkan dengan hasil prediksi badan-badan cuaca internasional lainnya. Hasil prediksi ini terus diperbarui oleh BMKG (di samping informasi kondisi terkini) dan publik bisa mendapatkannya dari situs BMKG di internet.

Melakukan prediksi cuaca bukanlah perkara sederhana, dibutuhkan formulasi kondisi cuaca sebagai fungsi waktu yang disebut dengan model cuaca. Model cuaca sebagaimana formulasi matematis dalam aplikasi fisis pasti memiliki rentang ketidakpastian (range of uncertainty). Rentang ketidakpastian muncul karena beberapa hal, salah satu yang mendasar ialah penjalaran ketidakpastian dari data akibat keterbatasan tingkat ketelitian alat ukur yang digunakan. Kemudian juga sifat dari formulasi yang digunakan apabila bersifat acak (chaos) maka hasil keluarannya akan memberi nilai berbeda-beda dan membentuk suatu sebaran, pola sebaran ini juga memberikan informasi tentang rentang ketidakpastian.

Sifat dari formulasi model cuaca telah diidentifikasi sebagai chaos, hal ini membuat rentang ketidakpastian dari hasil prediksinya menjadi penting. Rentang nilai ini kerap ditampilkan dalam suatu rentang statistik dengan probabilitas 90-99%, ini artinya kemungkinan besar nilai prediksi yang muncul berada pada rentang nilai tersebut tanpa ada satu nilai yang pasti. Menjadi penting untuk dicermati kemudian ialah sebesar apa rentang ketidakpastian ini, sebab apabila rentang nilai ini terlalu besar maka hasil prediksi bisa dinilai tidak signifikan dan disarankan untuk diabaikan. Dengan kata lain, model tersebut tidak dapat dipercaya.

Laporan BMKG pada Juli 2010 tidak menampilkan rentang ketidakpastian untuk hasil prediksi indeks Nino (parameter ukur kejadian El Nino-La Nina) tertanggal 14 Juni 2010. Pada pemutakhiran dokumen tertanggal 3 Januari 2011 BMKG melampirkan sebaran hasil prediksi indeks Nino yang bisa memberikan gambaran tentang rentang ketidakpastian. Sayangnya hal ini hanya muncul pada laporan hasil prediksi indeks Nino oleh lembaga cuaca luar negeri (NOAA-Amerika, JAMSTEC-Jepang dan BOM-Australia) tapi tidak dengan BMKG sendiri. Kondisi ini tentunya menjadi tanda tanya besar akan kualitas model cuaca yang digunakan oleh BMKG, sebab apabila ternyata nilai rentang ketidakpastian cukup besar maka selayaknya hasil tersebut tidak diinformasikan ke-publik.

Rentang ketidakpastian sangat penting untuk ditampilkan sebagai bagian dari kredibilitas model cuaca itu sendiri. Memperkecil rentang ketidakpastian adalah usaha yang terus dilakukan oleh para ilmuwan bidang cuaca, agar dapat memberikan nilai prediksi yang semakin signifikan. BMKG sebagai lembaga pemerintah dituntut untuk memberikan informasi prediksi cuaca sebaik mungkin kepada publik terutama sektor pertanian, maka sangatlah penting bagi BMKG untuk turut peduli akan perkembangan mutakhir kemajuan performa model cuaca didunia dan berusaha meng-adopsi-nya. Selama performa model cuaca yang digunakan oleh BMKG dipertanyakan, maka selama itu pula informasi prediksi cuaca oleh BMKG tidak akan dapat dipandang secara serius.
Bookmark and Share

Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)

Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang yang tidak membentuk spora. Pada awalnya, bakteri ini hanya dikenal sebagai Enterobacter cloacae yang memiliki pigmen kuning. Pada tahun 1980-an Farmer dkk
mengidentifikasinya sebagai spesies baru dan mengusulkan nama Enterobacter sakazakii sebagai penghargaan kepada peneliti Jepang Riichi Sakazaki.

Berdasarkan sifat biokimiawinya saat ini terdapat 16 kelompok E. sakazakii yang telah diketahui. Dengan bertambahnya pengetahuan tentang sifat-sifat E. sakazakii pada tahun 2007 Iversen dkk mengusulkan E. sakazakii untuk menjadi genus baru Cronobacter spp. Karena nama yang terbilang baru tersebut, maka panduan internasional yang diterbitkan pada tahun 2008 masih mencantumkan baik E. sakazakii
maupun Cronobacter spp.


Perilaku E. sakazakii dalam Pangan

Bakteri E. sakazakii tumbuh pada rentang suhu yang luas yakni 6-47°C. Beberapa galur yang diisolasi dari susu formula di Kanada bisa tumbuh pada 5,5-8,0°C dan terhambat pada suhu 4°. Rata-rata waktu pembelahan bakteri ini dalam susu formula adalah 40 menit pada 23°C dan 4.98 jam pada 10°C.

Artinya, jika ada 1.000 bakteri ini dalam susu formula yang sudah direkonstitusi (dibuat siap minum) maka setelah disimpan pada suhu 23°C selama 40 menit jumlahnya menjadi 2.000. Pada suhu lemari es (10°C), kenaikan jumlah tersebut baru dicapai setelah 5 jam. Batas aktivitas air (aw) dan pH pangan untuk pertumbuhannya belum banyak dilaporkan.

Karena E. sakazakii tidak membentuk spora maka bakteri ini mudah dibunuh oleh panas. Dalam beberapa kajian, dilaporkan bahwa nilai D60 E. sakazakii adalah 2,5 menit, artinya untuk menurunkan jumlah E. sakazakii menjadi 1/10-nya, diperlukan pemanasan pada suhu 60 derajat Celcius selama 2,5 menit.

Sebagai gambaran, jika jumlah awalnya 1.000 per mililiter, maka pemanasan pada suhu 60 derajat Celcius selama 2,5 menit, 5 menit, 7,5 menit, 10 menit akan menurunkan mikroba menjadi berturut-turut 100, 10, 1 dan 0.1 per mililiter. Karena terdiri dari berbagai jenis, maka ketahanan panas bakteri ini cukup beragam dan beberapa bersifat toleran terhadap panas.

Peneliti lain di Korea melaporkan bahwa rekonstitusi susu formula dengan air bersuhu 50°C akan menyebabkan bakteri berkurang menjadi 1/100-nya, sementara dengan suhu 65-70°C terjadi penurunan E. sakazakii menjadi 1/10.000 sampai 1/1000.000-nya (Kim & Park, 2007). Meskipun tidak tahan panas, E. sakazakii ini dilaporkan tahan terhadap kekeringan E. sakazakii tidak tumbuh tetapi dapat bertahan dalam produk kering sampai dengan beberapa bulan.

Penyakit Karena E. sakazakii (Cronobacter spp.)

Dalam dua puluh tahun terakhir terkumpul sejumlah data tentang infeksi pada kelompok bayi rentan karena E. sakazakii yang mencemari susu formula. Infeksi tersebut dilaporkan dapat menyebabkan gejala penyakit neonatal meningitis bacteremia, necrotizing enterocolitis (NEC), dan necrotizing meningoencephalitis (Muytjens & Kollee, 1990).

Selama rentang 1958-2002 di seluruh dunia, terdokumentasikan 25 peristiwa infeksi E. sakazakii yang melibatkan 60-an bayi (Iversen & Forsythe, 2003). Dari 25 peristiwa yang terjadi, delapan di antaranya dapat dikaitkan dengan konsumsi susu formula. Jumlah peristiwa infeksi ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan patogen lain seperti Salmonella. Oleh karenanya, the International Commission for Microbiological Specification for Foods (ICMSF, 2002) memeringkatkan bakteri ini sebagai cemaran dengan tingkat bahaya yang parah untuk populasi yang terbatas.

E. sakazakii tergolong sebagai patogen pangan 'emerging' yang perlu diwaspadai karena dalam 20 tahun terakhir ditengarai dapat mengakibatkan penyakit melalui makanan. Bakteri ini juga dikategorikan sebagai 'patogen oportunistik', yakni patogen yang menyebabkan penyakit pada kelompok rentan yang memiliki kekebalan rendah.

Kelompok yang rentan terhadap E. sakazakii adalah bayi berusia kurang dari 1 bulan atau bayi lahir prematur atau bayi dengan berat badan lahir rendah atau bayi dari ibu yang menderita AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). Meskipun tidak ada bukti secara epidemiologis tentang dosis infeksinya, Iversen & Forsythe (2003) memperkirakan bahwa diperlukan 1.000 sel untuk terjadinya infeksi oleh E. sakazakii.

Sampai saat ini, ada beberapa faktor yang dimiliki oleh E. sakazakii yang diduga berperan dalam terjadinya penyakit di antaranya protein invasin dan enterotoksin. Penelitian tentang faktor virulensi bakteri ini terus berlangsung di berbagai negara termasuk upaya untuk menemukan struktur enterotoksin yang dihasilkan.

Sumber E. sakazakii

E. sakazakii (Cronobacter spp.) telah diisolasi dari berbagai sumber seperti lingkungan (tanah, air) dan makanan. Selain susu formula, makanan yang pernah dilaporkan mengandung bakteri ini antara lain keju, roti, tahu, teh asam, daging yang dikering, daging cacah dan sosis. E. sakazakii juga ditemukan pada khamir roti karena bakteri ini merupakan bagian dari flora permukaan biji sorghum dan biji padi.

Meskipun demikian selain susu formula pangan di atas tidak pernah dilaporkan menyebabkan infeksi E. sakazakii. Hal ini mungkin disebabkan karena makanan tersebut tidak dikonsumsi oleh kelompok bayi rentan di atas.

E. sakazakii dan Susu Formula

Terjadinya pencemaran susu formula oleh E. sakazkakii diduga bisa terjadi oleh kontaminasi eksternal yaitu penanganan yang buruk saat merekonstitusi susu formula
dengan air atau kontaminasi internal selama produksinya. Pencemaran selama penyiapan dapat terjadi dari orang, piranti, debu atau lingkungan serta air yang digunakan.

Pencemaran selama produksi kemungkinan terjadi setelah proses pasteurisasi susu yaitu selama pengeringan, selama pencampuran kering dan atau pengemasan. Karena akumulasi laporan terkait E. sakazakii dan susu formula ini, sejak tahun 2004 lembaga pangan dunia Codex Alimentarius Commission, FAO/WHO bekerjasama dengan lembaga-lembaga pakar dan negara anggota Codex mendiskusikan data-data ilmiah terkait temuan E. sakazakii dari berbagai negara dan melakukan analisis risiko dengan data yang terkumpul tersebut.

Hasil kajian risiko selama beberapa tahun tersebut akhirnya bermuara pada diterbitkannya panduan Codex tentang proses dan pengujian susu formula untuk produsen susu formula, serta panduan bagi rumah sakit maupun rumah tangga dalam menyiapkan (merekonstitusi) susu formula untuk diberikan pada bayi.

Panduan bagi produsen yang dikeluarkan oleh Codex pada tahun 2008 segera diadopsi
oleh banyak negara termasuk oleh Indonesia melalui suatu Ketetapan Badan pengawas
Obat dan Makanan. Panduan tersebut mensyaratkan pengujian bakteri E. sakazakii yang
sebelumnya tidak dipersyaratkan di mana pun di seluruh dunia. Persyaratan produksi
dan pengujiannya relatif ketat, meski tidak seketat untuk Salmonella yang dianggap
lebih tinggi frekuensi kasus infeksinya.

Panduan Codex tersebut mensyaratkan untuk tiap lot produksi dilakukan pengujian sebanyak 30 sampel masing-masing 10 g dan tidak boleh ada satu sampel pun yang terdeteksi mengandung E. sakazakii. Jika ditransformasikan secara statistika berdasarkan ICMSF (2002) maka suatu lot susu formula akan tidak boleh diperdagangkan jika rata-rata jumlah E. sakazaki-nya lebih dari 1 dalam 278 g susu.

Panduan bagi konsumen maupun rumah sakit lebih dititikberatkan pada praktik sanitasi yang baik bagi orang (pekerja), air, botol yang digunakan untuk merekonstitusi susu formula serta pembatasan waktu untuk tidak menyimpan susu formula yang telah direkonstitusi pada suhu kamar lebih dari 2 jam. Sebagai tambahan, beberapa negara juga mengadopsi panduan dari WHO (2007) yang merekomendasikan rekonstitusi dengan menggunakan air bersuhu 70 derajat C untuk meminimalkan risiko patogen ini.

Penutup

Sebagai patogen pangan 'emerging' yang baru mulai didiskusikan tahun 2004 di tingkat internasional, E. sakazakii termasuk contoh sukses dalam mengelola patogen baru. Karena diskusi dan pengaturan dibuat cukup awal, maka sampai sekarang tidak terjadi peristiwa infeksi E. sakazakii karena susu formula dalam skala besar yang menandakan bahwa patogen ini terkendali.

Dalam perkembangan teknik deteksi mikroba dan teknologi informasi yang pesat ini, bukan tidak mungkin berbagai patogen baru akan muncul. Apabila para ilmuwan cukup
cepat mengambil bagian dalam penelitian dan datanya dapat dikontribusikan pada kegiatan analisis risiko, maka berbagai patogen yang bermunculan akan dapat diantisipasi dan dikelola dengan baik.


Bahan Bacaan:

CAC (Codex Alimentarius Commission). 2008. Code of Hygienic Practice fpr Powdered
Formulae for Infants and Young Children.
http://www.codexalimentarius.net/download/standards/11026/cxp_066e.pdf

Farmer, J.J., Asbury, M.A., Hickman, F.W. Brenner, D.J. and The Enterobacteriaceae
study group.1980. A new species of Enterobacteriaceae isolated from clinical
specimens. Intl. J. Systematic Bacteriol. 30 (3): 569-584.

ICMSF (International Commission on Microbiological Specification for Foods). 2002.
Microorganisms in Foods 7. Microbiological Testing in Food Safety Management.
Kluwer Academic, NY.

Iversen C dan Forsythe SJ. 2003. Risk Profile of Enterobacter sakazakii, an
emergent pathogen associated with infant milk formula. Trends in Food Science and
Technology 14: 443-454.

Iversen, C., Lehner, A., Mullane, N.,Bidlas, E., Cleenwerck, I., Marugg, J.,
Fanning, S., Stephan, R. And Joosten, H. 2007. The taxonomy of Enterobacter
sakazakii: proposal of new genus Cronobacter gen.nov. and descriptions of
Cronobacter sakazakii comb.nov. Cronobacter sakazakii subsp. sakazakii, Cronobacter
sakazakii subsp. malonaticus sbsp.nov., Cronobacter turicensis sp.nov., Cronobacter
muytjensii sp.nov., Cronobacter dublinensis sp.nov. and Cronobacter genomospecies
I. BMC Evolutionary Biology 7 (64).

Kim S-H dan Park J-H. 2007. Thermal resistance and inactivation of Enterobacter
sakazakii isolates during rehydration of powdered infant formula. J Microbiol
Biotechnol. 17 (2): 364-368.

Muytens, H.L., Zanen, H.C., Sonderkamp, H.J., Kollee, A., Wachsmuth, I.K., Farmer,
J.J. 1983. Analysis of eight cases of neonatal meningitis and sepsis due to
Enterobacter sakazakii. J. Clin. Microbiol. 18 (1):115-120.

Muytjens HL dan Kolle LA. 1990. Enterobacter sakazakii meningitis in neonates :
causative role of formula? Pediatric Infectious Disease 9: 372-373.

WHO/FAO (World Health Organization and Food and Agriculture Organization of the
United Nations). 2007. Safe Preparation, Storage and Handling of Powdered Infant
Formula Guidelines.
*) Dr Ratih Dewanti-Hariyadi adalah dosen di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Peneliti di SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor. Juga menjadi anggota the
International Commission on Microbiological Specifications for Foods (ICMSF) pada
2007 sampai sekarang.


Bookmark and Share

Rabu, 16 Februari 2011

nata de coco



mentoring mahasiswa ATIM (akademi teknik industri makassar) praktek membuat nata, hasilnya sangat memuaskan dan bisa dikembangkan menjadi satu kegiatan usaha.....tak ada salahnya membagi Ilmu, berharap manfaat. Berikut kami ingin sedikit berbagi cara pintar membuat air kelapa menjadi nata de coco yang dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah. Semoga manfaat.
1. Air kelapa ( 1 liter per lembar), disaring dengan penyaring agar bersih dari sabut kelapa dan cikalan
2. Direbus sampai mendidih bergumpal-gumpal selama 3 menit (untuk membunuh spora jamur). Selama perebusan tambahkan
• Za 1 liter air kelapa = 6 gram/liter
• Gula pasir 1 liter air kelapa = 6 gram/liter
• Buih yang timbul dibuang
• Pindahkan ke ember, tambahkan cuka 0,5 cc/ 1 liter air kelapa
1. Tuang ke dalam nampan sebanyak 1060 cc (dengan gayung khusus) dalam keadaan panas
2. Tutup pakai Koran, ikat pakai karet ban
3. Dinginkan selama 12-24 jam, sebaiknya melewati malam hari (suhu 28 derajat C)
4. Di Inokulasi dengan starter (bibit) 100 – 150 cc ( 1 botol bibit untuk 8 nampan)
5. Di fermentasikan (diperam) selama 6-7 hari. (selama fermentasi nampan jangan sampai bergoyang
6. Pada umur kurang lebih 6 hari sudah jadi dan siap dipanen. (pada musim kemarau 6 hari, pada musim penghujan 7 hari). Tanda-tanda siap dipanen, kalau ditekan tidak keluar air warna kuning kecoklatan
7. Setelah panen direndam pakai air tawar ditambah meta sulfit 1 sendok, sebaiknya segera dikirim ke Buyer. Kalau ditampung sebaiknya tidak lebih dari 15 hari.
Selanjutnya nata de coco yang terbentuk, kita cek kualitasnya, apakah masuk spek atau tidak, berikut adalah nata yang memiliki kualitas yang bagus:
• Ukuran bisa menyesuikan denga permintaan
• Ketebalan 1 cm (setebal tempat korek api)
• Rata atas dan bawah
• Warna agak kuning

Bookmark and Share


Kamis, 10 Februari 2011

susu kedelei



ribut-ribut susu mengndung bakteri E.zakazaki, lebih bik berkereasi sendiri membuat susu kedelei, ekonomis, aman dan sarat gizi....
nich dia resepnya...
Bahan
250gr kacang kedelai, cuci bersih.
1,5L air
150 gr gula pasir
3 lembar daun pandan, ikat
3 lbr daun jeruk.

Cara membuat
1. Rendam kedelai dengan air hangat selama 24 jam. Setelah mekar, cuci bersih dan buang kulitnya.
2. Blender dengan 1,5 L air sampai benar2 halus. Saring.
3. Rebus dengan api sedang dicampur dengan gula, daun pandan dan daun jeruk. Aduk2 sampai mendidih, jangan sampai meluap.
4. Setelah dingin saring dengan kain katun yang bersih. Sajikan hangat atau dingin sesuai selera.
( sumber : www.dapurbunda.com)


Bookmark and Share


adbrite